Sabtu, 26 Maret 2011

BURUNG



Pak Lurah mempunyai hoby memelihara burung bermacam – macam jenisnya.
Pada suatu pagi, burungnya hilang semua. Merasa ulah si maling sudah keterlaluan, si Pak Lurah berencana untuk membawa masalah ini di pertemuan warga.
Sekitar 200 warga hadir dalam pertemuan itu.
Setelah berbicara panjang lebar soal moral, Si Pak Lurah bertanya :
“Siapa yang punya burung.?”
Seluruh laki – laki yang hadir segera berdiri.
Menyadarai kesalahannya dalam cara bertanya, Pak Lurah buru – buru berkata :
“Bukan itu, maksud saya adalah.? Maksud saya adalah siapa yang pernah lihat burung.?”
Seluruh warga wanita berdiri.
“Wah, gawat”, pikir Pak Lurah. Dengan muka memerah ia berkata :
“Maksud saya siapa yang pernah meliha burung bukan miliknya.?”
Separuh wanita berdiri.
Muka Pak Lurah semakin memerah, dan juga semakin gugup, dan segera berkata lagi.
“Maaf sekali lagi, bukan ke arah situ pertanyaan saya, maksud saya adalah, siapa yang pernah lihat burung saya.?”
Segera 5 wanita berdiri.
Pak Lurah langsung lari pontang panting.
Ibu Lurah mengejarnya dengan membawa sapu lidi.
Hahahaha

Bom/Buku

Senin, 21 Maret 2011
Bom dan buku: kekerasan adalah jalan sempit yang memintas, percakapan adalah jalan yang tak ada ujung. Tapi bom yang hendak menghentikan dialog akhirnya tak akan menghentikannya. Pihak ”sana” bisa tewas, yang membunuh toh tak dengan sendirinya menang; kebenarannya tak serta-merta diakui. Sementara itu buku, di mana percakapan berkembang, memang punya sampul penutup, tapi buku yang sempurna tak akan pernah selesai ditulis.

Mungkin itu sebabnya orang tak sabar. Selalu ada sifat tergesa-gesa di kalangan orang yang penuh keyakinan, ketika mereka hendak mencapai satu keadaan di mana keyakinan itu terjaga murni, tak lagi dicemari suara dan pikiran yang mengganggu.

”Apa yang paling tuan takutkan dalam perkara kemurnian?”

”Sifat tergesa-gesa,” jawab William.

Percakapan dalam novel Il Nome de la Rosa Umberto Eco ini (dengan latar Eropa abad ke-13, ketika atas nama Tuhan dan untuk kemurnian ajaran Kristen para pejabat Gereja dengan hati dingin membinasakan orang yang dianggap ”sesat”) selalu saya ingat. Apalagi hari-hari ini.

Di hari-hari ini, di sebagian negeri, orang menuntut penyelesaian seketika dan sebab itu membunuh: mereka tak mengakui bahwa dunia adalah lanskap yang tak rapi. Mereka tak mau menerima bahwa sejarah penuh jurang, belukar, dan kelokan tajam, dan untuk membersihkannya diperlukan waktu yang tak terbatas. Keyakinan akan Yang Maha-Agung bisa memberi manusia kekuatan yang dahsyat, tapi juga ilusi yang kaku—yang membuatnya lupa bahwa ia tak sekuasa Tuhan, jauh, apalagi ia telah dipindahkan ke luar Firdaus, ke dalam wilayah yang tak suci lagi.

Dunia adalah wilayah ada-bersama-orang lain. ”Lain” bisa diartikan ”ganjil”, dan ”ganjil” sering tak menyenangkan, seperti cela, seperti najis, seperti dosa. Berabad-abad keadaan itu membangkitkan kekerasan, ketika keyakinan yang sudah ada di suatu masyarakat mencoba memurnikan diri dari ancaman (”dosa”) keyakinan yang berbeda. Yesus ditangkap laskar Yahudi dan dipaku di tiang salib; Muhammad diancam bunuh orang Quraish hingga melepaskan diri diam-diam ke Madinah. Katolik membasmi Protestan, Protestan membalas, atau membakar hidup-hidup orang yang berpikiran lain: Michael Servetus. Kaum Sunni dan Syiah tak henti-hentinya tebas-menebas. Semua itu tentu saja disertai dalil, yang juga dalih.

Tapi pada akhirnya tak ada yang sepenuhnya menguasai dalil: perdebatan tak pernah berhenti. Perlahan-lahan, meniti trauma dan ketakutannya sendiri, manusia pun menyesuaikan diri dengan dunia yang tak bisa diubahnya. Kini kita menyaksikan negeri-negeri di mana keyakinan yang berbeda-beda hidup berdampingan. Orang menyadari, tanpa koeksistensi, yang akan terjadi hanyalah konflik yang saling membinasakan, yang menyengsarakan, seperti Perang Agama di Eropa di abad ke-16. Sejak itu, bahkan orang Prancis menanggalkan semboyannya yang lama: une foi, une loi, un roi, ”satu iman, satu hukum, satu raja”.

Di hari-hari ini, percakapan yang mengemuka adalah ”multikulturalisme”. Di Kanada, kemudian di Eropa, kemudian di pelbagai negeri, masyarakat yang tadinya merasa utuh dan homogen makin menyadari bahwa dalam dirinya muncul perbedaan budaya, agama, dan etnis yang tak dapat dihilangkan. Dulu Amerika Serikat yang terdiri atas bermacam-macam imigran itu menyebut diri ”a melting pot”, sebuah kuali yang menghasilkan sesuatu yang padu dari pelbagai bahan mentah. Tapi sejak akhir 1960-an klaim itu digugat. Mulai berkecamuk identitas yang berbeda-beda. Bahkan, seperti ditunjukkan Michel Wieviorka, sosiolog Prancis yang baru-baru ini mengunjungi Indonesia, kian modern sebuah masyarakat, terbukti kian besar kecenderungan dirinya untuk memproduksi perbedaan kultural.

Multikulturalisme memang bisa jadi agenda sosial-politik yang bisa mengelola perbedaan-perbedaan itu—yang sering sengit dan berdarah. Dengan agenda itu orang bisa belajar untuk membangun toleransi.

Tapi ada beberapa masalah. Agenda itu, seraya mengakui kukuhnya perbedaan (difference), juga menumbuhkan sikap tak acuh (indifference). Toleransi sadar menjaga batas, tapi tak hendak menemui mereka yang berada di sebelah sana dari batas itu. Multikulturalisme dengan demikian bisa jadi semacam apartheid, keterpisahan, yang terdiri atas unsur-unsur tak saling mempedulikan.

Pada saat yang sama, toleransi mengandung sikap yang mengakui nisbinya sebuah pendirian atau keyakinan. Dari sana kita diingatkan akan perumpamaan yang terkenal itu: kita ibarat si buta yang hanya memegang ekor atau belalai gajah—bukan gajah itu sepenuhnya. Seperti dikatakan dalam satu sajak Chairil Anwar tentang Tuhan: ”Betapa susah sungguh/Mengingat Kau penuh seluruh.”

Tapi ada yang menyatakan, sebuah keyakinan hanya bisa disebut keyakinan bila berpegang pada yang mutlak. Bagi mereka, toleransi sesuatu yang sesat. Tiap dialog, tiap percakapan yang bertolak dari toleransi cuma mengelak dari jawab yang final. Bagi mereka, kesabaran adalah menunda kekalahan. Mereka lebih baik mati, atau mematikan, ketimbang menunggu tanpa berkesudahan. Menawarkan sebuah sistem yang tegak berdasarkan toleransi bagi mereka adalah absurd.

Dan mereka pun mengirim bom. Yang mereka lupa, bom tak pernah meyakinkan sejarah. Tentu, buku juga tidak. Tapi setidaknya buku mengisi jam-jam kita yang kosong dengan percakapan yang mungkin tak akan pernah selesai, tapi membuat kita tahu: kita hanyalah penafsir tanda-tanda, di mana kebenaran menerakan jejaknya. Itu sebabnya kata pertama yang menakjubkan adalah: ”Bacalah”.

Goenawan Mohamad

Sumber : Tempointeraktif.com

Gempa Di Jepang

Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada hari Jumat 11/3/2011 di Pulau Honshu, Jepang, dilanda gempa yang berkekuatan 8,9 skala richter. Gempa ini menyebabkan tsunami yang amat besar, yang memporak porandakan negeri Matahari Terbit tersebut. Gempa juga dirasakan hampir seluruh daerah di pantai pasifik, termasuk Tokyo dan Osaka. Gempa di Jepang tersebut berpusat di 382 kilometer timur laut Tokyo dengan kedalaman 10 kilometer.

Gempa tersebut menimbulkan Gelombang Tsunami setinggi lebih dari 6 meter yang melanda di Pulau Honshu. Kota paling parah terkena dampak Tsunami Jepang adalah Iwaki dan Sedau.

Puluhan orang tercatat menjadi korban Tsunami Jepang, korban kemungkinan masih bertambah.

Sumber : Poetra Anoegrah

"PUNCLUT"

Bagi kalian yang bertempat tinggal di daerah Bandung pasti udah tau dong sama yang namanya “PUNCLUT”. Punclut itu singkatan dari Puncak Ciumbeleuit.
Tempat makan yang berada di pinggiran puncak ciumbeleuit ini merupakan tempat makan yang berbentuk lesehan. Dan tempat ini memiliki view yang sangat indah looh pada malam hari. Karena kita bisa melihat indahnya lampu – lampu kota Bandung dari atas sana.




Punclut memiliki sambal terasi yang sangat khas. Semua tempat makan yang ada di sana memiliki rasa sambal yang sama, dan yang pastinya nonjooook banget pedesnya. Jadi kita mending siap – siap tissue deh, takut – takut hidung kita jadi meler. Hehehe. Dan jangan lupa bawa cairan pembersih tangan yah, karena disana kita ga disediain sabun.
Makanan yang disana tawarkan pun rata – rata sama semua. Seperti ayam, ikan, pepes, jengkol, pete, dll. Pokonya mah urang sunda pisan makananya. Hehehe.
Harganya pun ga mahal – mahal banget qo, ya standarlah. Klo waktu itu aku pernah makan disana pake ikan mujair, ati ampela, tahu, es kelapa bunder, soda susu, fruit tea, nasi 1 bakul + sambal dan lalap – lalapnya. Semuanya cuma 37 ribu ajah. Termasuk murahkan. Tapi malesinnya disana itu, terlalu banyak pengamen yang dateng. Jadi ya agak risih aja jadinya.
Tapi secara keseluruhan c oke lah punclut itu. Bisa di jadikan tempat buat ngumpul – ngumpul bareng temen kamu disana.
So’ kalo kamu – kamu pengen ngerasain gimana indahnya kota bandung pada malam hari dan maknyuuusnya sambal terasi di sana. Sok dateng aja ke punclut. Ga nyesel deh. Hehehe

Penunggu Bis Berdarah

Kisah Nyata :

Suatu hari, Adi sedang dalam perjalanan ke Jakarta dengan menaiki bis malam.
Seorang kaket tua naik dan menawarkan buku – buku pada penumpang.
“Bukunya nak.? Ada macem – macem nih. Buku silat, cinta – cintaan, agama, resep makanan, dll.” ujar si kakek.
Adi yang sedang susah tidur pun tertarik untuk membeli.
“Ada buku horor ga kek.?”
“Oh, suka cerita horor yah.? Kebetulan sisa satu. Pas lagi ceritanya, tentang bis yang di tinggali banyak arwah penasaran. Judulnya “PENUNGGU BIS BERDARAH”, serem banget pokoknya.” Saut kakek.
“Boleh juga tuh, berapa harganya.?”
“95.000, nak”
“Woooow, mahal banget kek.!”
“Ya namanya juga buku best seller nak. Semua yang baca buku ini kabarnya syok loh waktu baca endingnya”, si kakek promosi ala salesman.
Adi pun mengalah. Entah mengapa pada saat itu ia serahkan uang tersebut ke kakek.
Tiba – tiba petir menggelegar, angin mulai bertiup kencang.
Si kakek turun dari bis, namun tiba – tiba berhenti dan menolehkan wajahnya pelan – pelan ke Adi.
“Nak..”, ujarnya lirih
“Apapun yang terjadi, harap jangan buka halaman terakhir. Ingat ! apapun yang terjadi. Kalau tidak nanti kamu akan menyesal dan saya tidak mau bertanggung jawab.”
Jantung Adi berdegup kencang. Saking takutnya, ia sampai tidak mampu menganggukkan kepala hingga si kakek turun dari bis dan menghilang ditelan kegelapan.
Pada saat tengah malam, Adi selesai membaca seluruh isi buku tersebut. Kecuali halaman terakhir, dan memang benar seperti yang kakekit7u bilang, buku itu benar – benar menegangkan dan menyeramkan.
Bis melaju kencang. Hujan turun deras. Kilat menyambar bergantian, terdengar suara guruh menggelegar, Adi melihat ke sekeliling dan ternyata sema penumpang sudah terlelap. Bulu kuduknya merinding.
“Baca halaman terakhir ga ya.?”, pikir Adi bimbang. Antara penasaran dan rasa takut menjadi satu. Diluar malam tampak gelap.
“Ah, sudahlah. Nanggung.!”
Dengan tangan gemetar pun ia membuka halaman terakhir buku tersebut secara perlahan.
Dan akhirnya tampak lembaran kosong dengan sepotong tulisan di bagian pojok kanan atas. Sambil menelan ludah, Adi membaca huruf demi huruf yang tercantum.
PENUNGGU BIS BERDARAH
Terbitan CV. Pustaka Buku
Harga : Rp. 12.500

Hahahaahahahaha
XD

Kisah Dua Butir Kacang Hijau



Oleh karena sering ditugaskan ke luar kota oleh perusahaannya, seorang suami terpaksa harus meninggalkan istrinya dirumah sendirian selama berbulan – bulan, bahkan kadang setahun lebih.
Pada suatu hari, setelah lebih dari setahun suami tersebut bekerja diluar kota, ia pun pulang dan dijemput dengan mesra dan sukacita oleh istrinya.
Setelah dilayani makan dan minum oleh istrinya dan cukup beristirahat, maka suami tersebut berniat untuk mandi untuk menyegarkan badannya. Setelah selesai mandi ia mengambil pakaian ganti dari lemari. Didalam lemaran pakaian suami melihat sebuah kantong plastik yang di dalamnya yang berisi dua butir kacang hijau, dan dua uang lembar seratus ribuan.
Si suami heran dengan kelakuan istrinya. Apa sih maksudnya kacang hijau di taro di lemati pakaian.? Cuma dua biji lagi. Oleh karena penasaran, akhirnya ia menanyakan perihal dua butir kacang hijau dan dua lembar uang seratus ribu kepada istrinya.
“Dik, didalam lemari pakaian aku melihat kantong plastik berisi dua butir kacang hijau dan dua lembar uang seratus ribu, apa sih maksudnya koq kamu taro dilemari.? Mendengar pertanyaan suaminya tersebut, si istri menangis tersedu –sedu. Si suami malah menjadi tambah bingung karena tidak tau masalahnya.
Sete;ah ditanya berulang – ulang oleh suaminya, sambil menahan tangis si istri berkata : “ mas, sebelum aku ceritakan semuanya, maukah kamu berjanji bahwa kamu tidak akan marah kepadaku.?. oleh karena suami tersebut sangat penasaran dan sangat menyayangi istrinya, maka ia pun menjawab : “aku tidak akan marah sayang, aku sangat cinta padamu, walau apapun yang terjadi, aku akan tetap menyayangi dirimu.”
Setelah tangisnya reda, akhirnya si istri berkata : “mas, kacang hijau dalam kantong plastik itu adalah bukti cinta tulusku padamu. Selama kamu tinggalkan aku setahun ini, aku selalu kesepian dan selalu teringat padamu. Namun sebagai seorang wanita, lama – lama aku tidak kuat menahan sepi ini mas, dan akhirnya aku terpaksa selingkuh dengan pria lain. Maafkan aku mas, kamu sudah janji tidak akan marah kan, hal ini aku lakukan karena terpaksa, dan aku sangat menyesali perbuatanku. Sebagai bukti penyesalanku, maka setiap kali aku selingkuh dengan pria lain, aku taruh sebutir kacang hijau dalam kantong plastik untuk mengingatkanku akan kesalahanku akan kesalahanku, agar aku tidak mengulanginya. Kamu jangan marah ya mas, tadi kamu sudah janji, aku tetap mencintaimu.” Bagai disambar halilintar si suami mendengar penjelasan istrinya. Hampir saja ia menggampar istrinya kalau tidak ingat kalau dia sudah berjanji tidak akan marah. Setelah emosinya reda, akhirnya ia pun bisa menerima penjelasan istrinya, wajarlah kalau wanita kesepian selama ditinggal setahun. Apalagi dia lihat hanya ada dua butir kacang hijau di dalam kantong plastik itu, jadi istrinya hanya melakukan dua kali perselingkuhan selama setahun ditinggalkannya, dan istrinyapun katanya sudah menyesali perbuatannya. Cincai ajalah, Cuma dua kali koq, karena dirinya sendiri pun belum tentu sebersih istrinya salama setahun diluar kota. Kemudian ia berkata : “baiklah dik, kau kumaafkan, tapi jangan diulangi lagi ya, aku tetap sayang padamu. Tapi ngomong – ngomong itu ada dua lembar uang seratus ribuan dalam kantong plastik, apa maksudnya.?” Kemudian si istri menjawab : “anu mas, kebetulan seminggu yang lalu harga kacang hijau lagi naik menjadi seratus ribu rupiah per kilo. Dua lembar seratus ribuan itu adalah hasil penjualan dua kilo kacang hijau yang aku kumpulkan selama setahun aku berselingkuh dan dua butir kacang hijau dalam kantong plastik itu adalah sisa yang belum terjual.” Sang suami pun langsung pingsan.
TAMAT

hahahahahaha 
:D